My Coldest CEO

20| Destiny Surprise



20| Destiny Surprise

03 hari kemudian ...     

Sudah puas bekerja sambil mengambil kesempatan berlibur di Mexico walaupun hanya dua hari saja sudah mampu membuat Leo merasa beban lelahnya menguap. Kini, ia kembali menginjakkan kakinya di mansion yang selalu menjadi tempat kebanggaan.     

"Selamat datang, Tuan." Sapa Hers yang memang berdiri di depan pintu utama seakan-akan memiliki peran yang sama seperti sang doorman itu pun mulai menyapa Leo yang baru saja keluar dari dalam mobil BMW keluaran terbaru tepat di depan halaman rumah.     

Leo menganggukkan kepalanya, lalu menatap sebagian pekerja yang menyambut kepulangannya dengan sangat sopan dan tentunya ramah. "Terimakasih," ucapnya membalas sambutan dengan sangat ramah.     

Ia di bimbing oleh Bara yang memang menjadi kepala perintah dari dirinya, mengekori seperti selalu sigap jika sang Tuan rumah meminta pertolongannya. "Lebih baik kamu membuatkan saya makanan daripada seperti ini." ucapnya sambil memutar badan dan menghentikan langkahnya, begitu juga dengan Bara yang melakukan hal serupa karena refleks.     

Bara menganggukan kepalanya, "Tuan ingin di buatkan apa? rasanya sudah lama Tuan tidak mencicipi masakan saya." ucap bara sambil terkekeh kecil. Tiga hari memang terdengar sebentar, namun menurut Bara yang gemar sekali bekerja dan tidak membiarkan waktu luang menguasai tubuhnya, menjadikan jangka tiga hari sebagai waktu yang lama.     

Mendengar apa yang di katakan oleh Bara tentu saja membuat Leo mendengus geli, di susul dengan kekehan ringan. "Ada-ada saja. Buatkan saya steak, menu steak terbaik dan spesial." ucapnya yang hanya menyebutkan kata kunci makanan 'steak' tanpa mengatakan jenis hidangannya.     

"Baik Tuan, masakan saya tidak akan pernah mengecewakan." ucapnya sambil mengarahkan jarinya yang sudah membentuk bulatan kecil ke mulutnya lalu mengecup jemari itu seakan-akan mengatakan 'delicious' secara tersirat.     

Setelah merasa kalau Bara sudah paham dengan perintahnya, tanpa basa basi ia langsung saja melangkahkan kembali kakinya untuk pergi ke kamar tidurnya. Tinggal di hotel memang nyaman sih, apalagi memiliki rating yang bagus dari para tamu yang menginap. Namun tetap saja, kamar di mansion besarnya ini tidak ada bandingannya.     

Menaiki satu persatu anak tangga dengan tas kerja yang berada di genggaman kirinya, lalu setelah menginjak anak tangga terakhir langsung saja menghampiri pintu yang terdapat logo LL di depan pintu masuknya. Ia segera masuk ke dalam sana, menutup pintunya kembali lalu meletakkan tasnya di bawah lantai dekat dengan nakas.     

"Sedikit melelahkan, namun terbayar."     

Tiga hari di Mexico. Satu hari untuk mengurus segala pekerjaan bersama kolega yang akhirnya menanamkan kerja sama pada Luis Company, lalu dua hari sisahnya di pergunakan untuk berjalan-jalan ke tempat terkenal di Mexico sekalian mengambil waktu luang untuk mengistirahatkan tubuh yang terasa pegal.     

Dan kini, tepat pada hari keempat ia memutuskan untuk mengambil cuti. Membiarkan Azrell kelimpungan mengerjakan dokumen perusahaan, ya anggap saja sebagai hukuman karena telah berani memutuskan hubungan dengannya.     

Tidak, ia sama sekali tidak berniat untuk mengabaikan Azrell tanpa memberikan kabar. Tapi, ia memang terlampau sibuk hanya untuk sekedar membalas pesan yang di kirimkan wanita tersebut untuk dirinya.     

Ada waktu dimana seseorang membuka ponsel tapi tidak memiliki banyak kesempatan untuk membalas pesan orang lain, entah karena kesibukan atau apapun itu.     

Merenggangkan dasinya serta pantofel kulit yang menjadi alas kaki, karena ia masih memakai tuxedo gantian yang beli langsung di Mexico. Melucuti seluruh pakaiannya sampai terjatuh mulus tepat di atas lantai. Kini penampilannya hanya menggunakan boxer dengan tubuh atas yang bertelanjang dada.     

Ia langsung saja menghampiri lemari untuk mengambil atasan yang berupa kaos polos dan juga celana pendek bahan selutut. Pakaiannya memang sederhana tapi kesederhanaan itu tidak mengubah raut wajahnya yang memang sudah hampir menyamakan sang Dewa Yunani.     

Setelah semuanya siap, ia berjalan menuju meja rias. Merapihkan jambul yang menambah poin positif tampan dari tubuhnya, lalu menyemprotkan parfum wangi maskulin. Ia melangkahkan kakinya, untuk mengambil ponsel yang berada di dalam tas kerjanya. Mengingat ponsel, sejak Azrell mengirimkan dirinya pesan seperti itu beberapa tempo lalu, kini sudah tidak ada lagi pesan berisik dari wanita tersebut. Jangankan pesan berisik, satu pesan saja pun tidak ada.     

Ia menyesal karena tidak mempertahankan Azrell? tentu saja tidak menyesal sama sekali.     

Untuk apa menghalangi seseorang yang ingin pergi? Bukankah itu sama saja menunda perpisahan dan menumpuk goresan luka yang semakin tercetak jelas di hati?     

Kalimat pegangan Leo seperti ini, 'jangan pernah menghalangi kepergian seseorang dan jangan pernah menerima mereka untuk kedua kalinya --yang sudah pasti akan mengulang hal serupa--' setuju dengan dirinya? harus.     

Kalau bisa move on dan merelakan, kenapa tidak? wanita di dunia ini banyak apalagi banyak yang bertekuk lutut untuk mendapatkan perhatiannya. Mati satu, tumbuh seribu kok.     

Mengangkat bahunya seakan-akan memang hal itu bukanlah suatu yang sangat penting bagi dirinya, lu menggenggam ponsel dengan erat. Barulah di detik selanjutnya mulai melangkahkan kaki untuk keluar kamar, menghampiri Bara untuk mencicipi steak buatan laki-laki tersebut yang setiap masakannya memang tidak akan pernah tertandingi.     

Menuruni anak tangga dengan sangat santai, lalu menginjakkan kakinya pada lantai dasar. Berjalan ke arah ruang makan sekaligus dapur yang menjadi satu, lalu segera saja mendaratkan bokongnya di salah satu kursi makan.     

"Belum siap, Bara?" tanyanya yang melihat Bara sedang berkutat dengan berbagai macam peralatan dapur, ia bertanya hanya untuk sekedar basa-basi saja bukannya tidak melihat apa yang sedang di lakukan laki-laki tersebut.     

Bara menoleh sekilas ke arah Leo, lalu menampilkan senyuman yang sangat ramah. "Ah Tuan ternyata sudah di kesini, sedang dalam proses pemasakan." ucapnya yang memberikan jawaban detail mengenai hal apa yang sedang ia lakukan supaya sang Tuan rumahnya itu bisa menerka kapan kira-kira steak tersebut matang.     

"Tingkat kematangan medium rare, ingat?" ucap Leo yang memang selalu menyukai tekstur daging dengan tingkat kematangan dengan artian daging steik telah matang di bagian luar, tetapi masih banyak daging yang mentah pada bagian tengah. Tingkat juicy pada medium rare biasanya masih dapat dirasakan.     

Bara menganggukan kepalanya, ia sangat paham dengan bagaimana jenis makanan yang di sukai oleh Leo. "Tentu saja, Tuan. Semuanya akan siap,"     

"Ah Bara, jangan lupakan kentang goreng, tapi hidangkan sedikit saja." ucap Leo yang meminta menu tambahan pada Bara.     

Terlihat Bara yang menganggukkan kepalanya, lalu memberikan pada Leo sebuah ibu jari. "Siap Tuan, terlaksana." ucapnya sambil terkekeh ringan.     

Cukup tampan, attitude yang baik, pokoknya pekerja yang berada di rumah Leo tidak ada sisi kurangnya deh.     

"Memangnya kamu ingin memasakan apa untuk saya?" tanya Leo yang memang belum mengetahui jenis masakan Bara.     

Bara tanpa menolehkan kepalanya ke arah Leo yang kini sudah duduk tegak di atas kursi makan itu pun dengan aktif tangannya bergerak untuk memasak. "Rib eye steak, Tuan." ucapnya dengan nada yang sangat ramah.     

//Fyi; Rib eye Steak merupakan potongan daging terbaik dibandingkan yang lainnya. Ini karena karakteristiknya yang terasa rich dan beefy. Kandungan lemak di potongan daging ini juga sangat banyak, sehingga sering disebut sebagai jenis steak paling juicy.//     

Leo membulatkan mulutnya, ber-oh ria.     

"Oh ya Tuan, kemarin wanita yang kau maksud sudah datang ke sini tapi mengambil seluruh barang-barangnya yang terdapat di kamar tamu." ucap Bara yang mengatakan kejadian beberapa hari lalu saat wanita cantik dan sopan menapakkan kakinya ke dalam mansion dengan senyuman cerah.     

Leo yang baru saja ingin memusatkan perhatiannya pada layar ponsel, kembali teralihkan. Ia menaikkan sebelah alisnya, ternyata Azrell memang tidak main-main. "Lalu? Apa kamu memperlakukannya dengan baik?" tanyanya yang memang penasaran sebenarnya apa saja yang dilakukan kekasihnya itu di sini.     

Bara masih terfokus pada apa yang di masaknya, namun topik pembicaraan masih berlanjut. "Tentu saja, kasihan dirinya ternyata belum sarapan. Katanya sibuk melakukan pekerjaan rumah sehingga tidak sempat makan, wanita pekerja keras yang sangat sopan, Tuan." ucapnya yang mengingat kembali setiap ucapan 'wanita' yang sebenarnya berbeda orang dengan pikirannya dan juga Leo.     

Leo yang mendengar ucapan Bara hanya menaikkan sebelah alisnya, merasa bingung dengan pernyataan yang terdengar sangat mustahil. Pasalnya, Azrell jarang sekali memegang pekerjaan rumah karena terlalu sibuk dengan dokumen menumpuk yang bahkan harus di kerjakan di rumah. "Yang benar? Lalu apa lagi yang ia lakukan?" tanyanya yang semakin mencari tahu.     

Sarapan? Setahu dirinya Azrell kan bekerja, dan sudah dapat di pastikan tidak akan sempat ke kediamannya hanya untuk mengambil barang di pagi hari. Wanita pekerja yang anti dengan keterlambatan, tidak mungkin Azrell ke sini saat jam-jam masuk kerja.     

"Ah iya, dia sangat sopan sekali. Menggunakan dress sederhana yang menutupi bagian sensitif wanita, pokoknya terlihat sederhana dan tidak terlalu mencolok." jelas Bara.     

Sungguh, ciri-ciri yang di sebutkan Bara tentu saja bukan kriteria milik Azrell. Sangat jauh berbeda dari wanita tersebut. Sudah pasti, itu bukan mantan kekasihnya, lalu siapa wanita tersebut?     

Berpura-pura kalau wanita itu adalah kekasihnya lebih baik ia memancing Bara saja untuk mengatakan pada dirinya tanpa di suruh.     

"Apa yang kamu sediakan untuk sarapannya?" tanya Leo yang semakin penasaran.     

"Ah Nona itu mengatakan pada saya untuk membuatkannya omelette saja, tapi saya menolak dan pada akhirnya saya buatkan menu English Breakfast saja. Karena saat ingin dibuatkan menu berat, dia menolak."     

Sudah dapat di pastikan kalau wanita itu bukanlah Azrell yang bernotabene masih menjadi kekasihnya pada hari itu.     

"Kenapa kamu memanggilnya dengan sebutan Nona saja tanpa nama?"     

Bara yang sedang mem-plating steak di atas piring itu pun menolehkan kepalanya ke arah Leo. "Iya, saya memanggilnya dengan sebutan Nona Felia." ucapnya.     

Bagai tersambar petir di pagi hari, Leo sedikit membelalakkan kedua bola matanya. Tunggu, ada apa semua ini? Kenapa Azrell menyuruh Felia untuk datang ke mansion ini dan mengambil barang-barang miliknya? Dan lebih membingungkan lagi, Felia siapanya Azrell? atau apalah itu sebaliknya.     

Bukankah ini seperti sebuah kejutan kecil yang sudah di rencanakan oleh takdir untuk dirinya?     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.